Dapurku Surgaku
SharePenulis: Ummu Rumman Azzahra
Muroja’ah: Ustadz Nurkholis, Lc.
“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa nggak dari dulu belajar masak…”
Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?
Pentingkah Memasak?
Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga, memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya.
Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.
Memasak Sebagai Ladang Pahala
Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)
Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.
Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.
Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)
Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman mengenai hal ini, yang artinya,
“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-11)
Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.
Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.
Mari Memulainya dari Dapur
Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan, maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita kepada-Nya.
Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:
Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.
Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur yang tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita untuk mereka sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.
Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.
Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.
Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan banyak orang.
Mulailah Belajar
Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.
Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.
Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian, peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.
Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah. Allahu Ta’ala a’lam.
Maroji’:
Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria (terj.), Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid, Pustaka Salafiyyah.
Manajemen Istri Shalihah (terj.), Muhammad Husain Isa, Ziyad Books Surakarta.
Majalah Nikah vol. 5, No. 11 Edisi Muharram 1428 H.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Tiada ulasan:
Catat Ulasan